BUI ASAP ROKOK: INOVASI KONKRET MENUJU JEMBER BEBAS TBC


BUI ASAP ROKOK: INOVASI KONKRET
MENUJU JEMBER BEBAS TBC
Mochammad Sholehhudin
"Essay"

Rokok sebagai Pendamping TBC
Rokok merupakan satu produk spesifik yang semakin meningkat pengkonsumsiannya dari waktu ke waktu. Banyak hal yang menjadi kajian atas dampak dari pengkonsumsian rokok, salah satunya adalah rokok diduga sebagai faktor resiko yang kuat dalam peningkatan jumlah pengidap infeksi TBC. Sebuah penelitian di Universitas California menyebutkan bahwa perokok primer dan sekunder meningkatkan jumlah orang yang akan tertular TBC hingga sekitar 7%.  Ini meningkatkan jumlah orang  yang diperkirakan meninggal akibat TBC antara tahun 2011 dan 2050 hingga sekitar 26%. Fakta lain menyebutkan bahwa sebuah laporan ilmiah di British Medical Journal menunjukan, setiap tahun rokok menyumbang 18 juta kasus paru-paru pada penderita TBC di seluruh dunia. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan pada tahun 2050 akan ada 40 juta kematian pada penderita TBC yang disebabkan oleh rokok. Selain itu, penelitian di Harvard School of Public Health, menunjukan bahwa dari 100 orang yang diteliti, ditemukan perokok dan menderita TBC sebanyak 33 orang, perokok pasif dan menderita TBC sebanyak 5 orang, dan yang terkena polusi udara dan menderita TBC sebanyak 5 orang. Ini semua mengindikasikan bahwa rokok sangat berpengaruh terhadap kasus infeksi TBC.
Menurut Dr Stanton, salah satu peneliti di Universitas California, TBC tidak disebabkan oleh rokok, melainkan disebabkan oleh bakteri. Tetapi merokok mempunyai dampak khusus dalam mengurangi kekebalan tubuh dan membuat orang yang terkena infeksi paru-paru akut bisa terkena bakteri TBC dan dimungkinkan meninggal karenanya.
Kaitan ini bisa dijelaskan bahwa zat toksik yang ada dalam rokok dapat merusak mekanisme pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi menahan infeksi akan rusak akibat asap rokok. Selain itu, Asap rokok dapat meningkatkan tahanan pelan napas (airway resistance). Akibatnya, pembuluh darah di paru-paru mudah bocor dan merusak sel pembasmi bakteri pengganggu dan menurunkan respon terhadap antigen, sehingga bila benda asing masuk ke dalam paru-paru tidak ada pendeteksinya, termasuk Mycobacterium tuberculosis. Kondisi seperti, pengkonumsian rokok yang terus meningkat, jika terus berlanjut dalam khidupan masyarakat akan menyulitkan pemerintah dan tenaga kesehatan untuk memberantas penularan infeksi TBC. Sehingga perlu adanya pemutusan rantai terjadinya infeksi TBC dari faktor resiko rokok. Berbagai upaya tenaga kesehatan ditelan mentah oleh masyarakat, sosialisasi, peyuluhan, bahkan arahan sudah tidak lagi berpengaruh terhadap perubahan perilaku. Sehingga program konkret yang berlandaskan hukum harus ditegakan dalam pengendalian rokok sebagai faktor resiko infeksi TBC.

Ancaman Rokok Bagi Banga Indonesia
Indonesia tercatat sebagai negara dengan prevalensi rokok terbesar ke-3 setelah Tiongkok dan India. Selain itu, Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang tidak mau meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dan diketahui bahwa sebanyak 35% penduduk Indonesia adalah perokok aktif. Sungguh ironi jika pemerintah menggaungkan pemberantasan TBC dengan kondisi seperti itu.
Margareth Chan, Direktur Jenderal PBB untuk WHO, dalam konferensi dunia yang membahas Tobacco Control, menyebutkan bahwa musuh kita, industri tembakau, telah merubah wajahnya dan taktiknya menjadi serigala berbulu domba dengan gigi yang menyerangai. Ini artinya bahwa negara-negara di dunia telah dikelabuhi oleh industri rokok, salah satunya adalah Indonesia. Kebijakan, kekuasaan, dan hukum di Indonesia telah dikuasi oleh uang pemilik industri rokok. Sehingga bukan lagi Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan Keuangan Yang Maha Esa yang menjadi Idologi bangsa. Padahal, masyarakat sangat membutuhkan tindakan riel dari pemerintah dalam kaitannya rokok dengan TBC.
Penyakit TBC merupakan penyakit yang sering terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, prevalensi TBC yang tinggi di Indonesia ternyata belum didampingi dengan pencegahan-pencegahan faktor penyebab resiko TBC. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan pemerintah yang masih melegalkan rokok bagi masyarakat. Dimana rokok merupakan salah satu faktor resiko TBC yang relevan dalam meningkatkan prevalensi TBC.
Termuat dalam Ayat 2 Pasal 113 Undang-Undang No 36 tahun 2009 secara jelas mengungkapkan rokok merupakan barang adiktif yang merugikan pengguna dan orang disekitarnya. Pasal ini juga diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 34/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa produsen dan importir rokok wajib mencantumkan peringatan berupa tulisan yang jelas dan gambar pada kemasannya. Sebab, hal ini merupakan perwujudan dari jaminan dan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk memperoleh informasi yang benar. Selain itu, Undang-Undang No.28 Tahun 2009 menyatakan bahwa rokok merupakan barang sin tax yang apabila dikonsumsi dapat memberikan dampak negatif. Jika dilihat dari sisi manapun konstitusi negara kita telah menyatakan bahwa rokok merupakan benda berbahaya yang harus dikendalikan.
Berdasarkan kajian tersebut, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menghiraukan pengendalian rokok di Indonesia. Kesehatan masyarakat adalah faktor utama dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat dan telah termuat dalam paradigma global bangsa di dunia, penanggulangan TBC merupakan salah satu poin yang harus diperhatikan dalam pencapaian MDGs 2015. Sehingga perlu adanya suatu upaya konkret dan langsung untuk mengendalikan, mengurangi, menghilangkan, dan melarang tumbuh suburnya rokok sebagai faktor resiko TBC agar tercipta Indonesia sehat dan bebas TBC.

Bui Asap Rokok sebagai Inovasi Konkret
Pentingnya pengendalian rokok di Kota Jember merupakan satu langkah awal untuk mewujudkan Jember bebas TBC. Program Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam pengembangan kawasan tanpa rokok bukanlah satu program yang hanya ditunggu keberadaanya. Melainkan harus diwujudkan dengan dorongan dan motivasi untuk sehat. Mulai dari kalangan masyarakat umum sampai kepada stake holder dan pemerintah pusat. Dalam hal ini, posisi tenaga kesehatan yang saat ini berada di tengah-tengah antara masyarakat dan stake holder merupakan posisi strategis untuk mengadvokasi stake holder di Kota Jember dalam menciptakan kawasan tanpa rokok yang penulis sebut dengan bui asap rokok.
Bui asap rokok bukanlah hal yang sulit untuk diwujudkan. Komitmen dan konsistensi tenaga kesehatan dalam mengendalikan masalah rokok harus dibuktikan dengan karya nyata yang berasaskan kesejahteraan masyarakat, bukan kesejahteraan pribadi. Sehingga, langkah awal pewujudan bui asap rokok akan menjadi tonggak masa depan kesehatan Masyarakat Kota Jember khususnya dalam pemberantasan dan penurunan prevalensi infeksi TBC.
Bui asap rokok dapat diwujudkan di berbagai tempat, diantaranya adalah di tempat-tempat umum, di tempat kerja, di tempat anak bermain, di tempat belajar, maupun di tempat ibadah. Dalam pencapaiannya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, melakukan advokasi terhadap pimpinan instansi dengan menjelaskan perlu dan pentingnya kawasan tanpa rokok dikembangkan di area bersangkutan. Hal ini ditunjang dengan fakta-fakta rokok yang berakibat buruk bagi kesehatan. Kedua, pimpinan melakukan analisis situasi. Kajian ini dilakukan untuk memperoleh data dalam membuat kebijakan yang relevan. Ketiga, pembentukan komite atau kelompok kerja penyusunan kebijakan kawasan tanpa rokok. Isinya meliputi maksud, tujuan, dan manfaat kawasan tanpa rokok. Rencana kebijakan pemberlakuan kawasan tanpa rokok, dan masukan tentang penerapan kawasan tanpa rokok, antisipasi kendala, sekaligus alternatif solusi. Keempat, menyiapkan infrastruktur dalam kawasan tanpa rokok seperti, pembuatan surat keputusan, instrumen pengawasan, materi sosialisasi penerapan, pembuatan dan penempatan tanda larangan merokok, dan pelatihan bagi pengawas kawasan tanpa rokok. Dengan tahapan tersebut bui asap rokok akan terwujud dengan sistematis dan diplomatis, serta akan menjadi satu program yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Pencapaian bui asap rokok tersebut akan berdampak langsung dalam penurunan faktor resiko infeki TBC. Harapannya, adanya pengendalian rokok dengan menciptakan kawasan bebas rokok, status kesehatan Masyarakat Kota Jember akan semakin meningkat dan menjadi inovasi konkret menuju Jember bebas TBC.
Pro dan kontra pasti bermunculan dengan adanya bui asap rokok. Tetapi, perlu diingat bahwa setiap tindakan pasti mempunyai konsekuensi yang jelas. Kejelasan konsekuensi bui asap rokok nampaknya sudah menjadi rahasia umum bagi berbagai kalangan. Di satu sisi kekhawatiran masyarakat perokok akan meningkat dan akan timbul berbagai kecaman terhadap penegak bui. Namun di sisi lain, kekhawatiran masyarakat umum terhadap asap rokok yang menjadi faktor resiko TBC akan menurun dan pencitraan penegak bui akan menjadi sorotan masyarakat. Dimana penegak bui disitulah asap dididik, dan Kota Jember adalah penegak bui yang mendidik masyarakatnya menuju Jember bebas TBC.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment