SUNAT SIFON... is healthy??

 
Hingga kini Suku Antoni Meto, di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih menjalankan ritual sunat tradisional, yang mengharuskan seorang pria dewasa melakukan hubungan seks usai disunat. Di Desa Neakbaun, sekitar 50 kilometer di sebelah barat Kota Kupang, sebuah ritual sunat tradisional telah dilakukan. Berdasarkan kepercayaan setempat, masa panen adalah saatnya para lelaki Atoni Meto yang berusia di atas 18 tahun harus disunat. Mereka dianggap sudah mampu melakukan hubungan seks yang nantinya menjadi syarat tuntasnya ritual sunat.
Kebanyakan pria disunat sebelum menikah, tapi tidak sedikit juga yang melakukannya setelah beristri dan punya anak. Ritual sunat tradisional Timor konon dipercaya tubuh akan menjadi bersih, bau badan hilang, awet muda, dan mendapat kepuasan seks.
Seorang tukang sunat atau yang biasa disebut ahelet, dipercaya sebagai orang yang memastikan tradisi ini berjalan sesuai adat Atoni Meto.
Kali ini ada 2 pemuda yang akan disunat. Bersama sang ahelet, mereka menuju sebuah kali, tempat penyunatan akan dilakukan. Sebelum pasien disunat, ahelet meminta sang pemuda menghitung batu. Ini adalah bagian dari ritual, bernama nain fatu.
“Sebelum potong adik harus pilih batu. Itu untuk membuktikan bahwa sebelumnya adik sudah pernah hubungan seks dengan berapa perempuan, yang punya suami “, ujar si Ahalet.
Ya, batu yang diambil si pasien menunjukkan jumlah perempuan yang pernah disetubuhinya. Bila si pemuda bohong, konon luka sunatnya akan sulit sembuh. Pada intinya, nain fatu ini merupakan pengakuan dosa, agar penyunatan berlangsung sukses. Batu yang diambil itu lalu dibuang agar si pasien melupakan perempuan-perempuan yang pernah disetubuhinya.
Usai nain fatu, pasien berendam di kali. Agar tubuh menjadi dingin dan tidak terjadi perdarahan berlebihan. Airnya pun harus mengalir, untuk membawa dosa-dosa. Setelah itu pasien siap disunat. Proses sunat tradisional dilakukan dengan menjepit kulit kelamin bagian atas menggunakan bambu. Dalam sekejap, sayatan pun dilakukan. Sang ahelet langsung membalut bagian yang luka dengan daun kom, agar tidak terjadi perdarahan.
Usai penyunatan, pasien harus minum dalam sekali tenggak, darah ayam yang dicampur dengan air kelapa. Konon dengan meminumnya, darah yang terkuras saat disunat bisa kembali seperti semula. Begitu minuman habis, tukang sunat langsung menepuk bagian belakang tubuh pasien agar kemampuan seksual mereka berdaya tahan tinggi.
Tapi ritual penyunatan belumlah usai. Si pemuda masih harus melakukan sifon atau berhubungan seks dalam kondisi luka sunat yang masih basah, dengan perempuan yang bukan istri atau calon istrinya.
Sifon oh Sifon
Desa Hueknutu merupakan kawasan terpencil. Berjarak lebih dari 100 kilometer dari Kota Kupang. Berpendududuk 3.500 kepala keluarga, umumnya bermata pencaharian bertani dan beternak. Adat Atoni Meto masih dipegang teguh warganya. Dengan latar belakang itulah tradisi sifon terus berlangsung. Namun di sisi lain, tradisi sifon sesungguhnya adalah bentuk perendahan harga diri kaum perempuan sekaligus potensial menyebarkan penyakit kelamin.
Sifon adalah hubungan seks pasca sunat yang wajib dilakukan seorang pasien sunat ketika luka sunatnya belum sembuh. Tujuannya untuk membuang panas, agar organ seksual si pria kembali berfungsi baik. Bila sifon sudah dilakukan, maka si pasien tidak boleh lagi berhubungan seks dengan perempuan tersebut seumur hidupnya.
Karena berdasarkan kepercayaan Atoni Meto, si perempuan telah menerima panas dari sang pasien. Panas dalam konsep ini berarti penyakit kelamin. Jadi, jika si pria yang dianggap telah membuang penyakitnya pada perempuan tersebut, berhubungan seks lagi dengan perempuan itu, maka penyakitnya akan kembali pada sang pria. Selain itu diyakini perempuan yang kena sifon, kulitnya bersisik dan berbau. Itulah sebabnya mengapa sifon tidak boleh dilakukan dengan istri sendiri. Dan tidak akan ada lelaki yang mau memperistri perempuan yang menjadi obyek sifon.
Karena itu biasanya para orang tua akan memperingatkan anak perempuannya agar tidak keluar rumah ketika musim panen. Sungguh sebuah ironi. Ia tradisi, namun sekaligus malapetaka.
Walau sifon dianggap melanggar norma agama dan moral, tapi warga setempat berkeyakinan sifon harus dilakukan untuk membuang kotoran. Bila sang pemuda tidak melakukan hubungan seks pasca sunat atau sifon, maka ia pun akan impoten.
Tukang sunat atau ahelet adalah orang yang amat berperan dalam ritual ini. Seperti Isak Fanelsi. Sejak usia 25 tahun lalu, ia menjadi seorang ahelet. Kini namanya cukup dikenal, bahkan hingga ke Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Tarifnya 25 ribu rupiah. Tapi terkadang ia dibayar dengan beberapa botol minuman beralkohol dan seekor ayam.
Sang aheletlah yang memastikan ritual sunat Atoni Meto ini berjalan tuntas, sampai pasien telah melakukan sifon. Bahkan seringkali ia pula yang mencari perempuan yang mau diajak berhubungan intim dengan si pasien. Sulitnya mencari perempuan yang bersedia diajak sifon akhirnya membuat lokalisasi prostitusi pun menjadi pilihan.
Mungkinkah?
Sebagai rangkaian dari sunat tradisional Atoni Meto sudah begitu mengakar pada masyarakatnya. Pelakunya bukan hanya mereka yang tinggal di pelosok atau yang berpendidikan rendah. Bahkan kaum intelektualnya pun melakukan sifon.
Adalah Primus Lake, seorang peneliti sosial dari Universitas Nusa Cendana, salah satu yang prihatin dengan sifon. Selain merendahkan martabat perempuan dan bertentangan dengan norma agama, potensi penularan HIV dan penyakit kelamin lainnya pun amat besar.
Keprihatinan itulah yang mendorongnya membentuk Yayasan Bina Mandiri. Dengan bantuan tokoh adat dan tokoh agama, Primus gencar melakukan penyuluhan cara sunat yang sehat tanpa perlu melakukan sifon. Para dokter dilibatkan. Salah satunya adalah dokter Bruce. Secara ilmu kedokteran, tindakan penyunatan memang bermanfaat untuk kesehatan, bila dilakukan sesuai kaidah medis. Hal itulah antara lain yang diajarkan kepada para ahelet. Alat-alat seperti bambu dan silet masih boleh dipakai, tapi harus disterilkan lebih dulu.
“…tukang sunat desa kita lakukan pelatihan. Dalam pelatihan kita anjurkan tukang sunat, bahwa sebelum sunat mempersiapkan alat dalam keadaan steril pisau dan gunting. Paling utama disinfeksi pada wilayah yang kita sunat. misalnya dibersihkan dengan alkohol dan betadine”, papar Primus.
Untuk menghilangkan budaya sifon, Yayasan Bina Mandiri yang dipimpin Primus bersama dengan LSM lainnya seperti Plan Kupang, melakukan intervensi sampai ke-33 desa di Timor Tengah Selatan, Timor Bagian Barat dan Timor Tengah Utara.
Sudah 5 tahun lebih mereka melakukan hal ini. Bentuk penyuluhan diawali dengan mengajarkan sunat sehat, kepada tukang sunat tradisional. Tahun 2002, bekerjasama dengan tokoh adat setempat, para penyuluh mengadakan sunat massal di daerah Suku Atoni Meto.
Pemahaman bahwa sifon sama sekali tidak berhubungan dengan kejantanan seorang pria, juga terus ditanamkan. Pelan-pelan, budaya sifon mulai terkikis. Jalan meniadakan memang masih panjang, tapi toh tidak sia-sia. Sebuah upaya yang patut diacungi jempol bagi Primus Lake dan rekan-rekannya. (by.*/cis)
sumber: sergapntt.wordpress.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS